Tentang Blog!

Blog ini dibuat untuk mengumpulkan tulisan dari mahasiswa, rekan kerja, alumni, dosen, atau siapa pun yang mengenal dan punya pengalaman berkesan dengan mas Eric. Kumpulan tulisan ini akan dibukukan, untuk diberikan kepada mas Eric pada 18 Mei 2011, saat pesta perpisahan beliau. Tulisan bisa dikirimkan ke: octovary@gmail.com, paling lambat 15 Mei 2011.


Kumpulan tulisan sudah dibukukan dan diberikan ke mas Eric, sekaligus ke semua penulisnya.. Tanggapan hangat dari mas Eric juga sudah disampaikan ke semua penyumbang tulisan, bisa dilihat dari blog mas Eric di:

Saya dan Cermin

#tribute-to-mas-eric-22

Januari 2008, Atma Jaya, Jakarta, saya lupa tepatnya. Itulah ketika saya pertama kali berjumpa dengan Eric Mulyadi Santosa. Saya sudah sering mendengar namanya waktu itu. Namun kami belum pernah berjumpa langsung.

Percakapan pertama kali kami adalah soal apa itu manusia. Wah memang terdengar berat sekali, tetapi itulah yang terjadi. Ia dulu bilang begini, “Manusia itu bukan substansi, tetapi jaringan.” Saya langsung setuju dengan pendapat itu.

Saya merasa berbicara dengan cermin. Yah, bagaikan berbicara dengan diri sendiri. Sejak awal berbicara kami langsung nyambung, terutama tentang tema-tema yang terkait dengan kehidupan manusia. Dalam banyak hal kami juga amat mirip.

Eric cenderung mengatakan segala sesuatu secara tegas. Saya pun sama. Ketika di kelas ia tidak ragu untuk bilang begini ke mahasiswanya, “Paper-mu dangkal.” Saya pun sama. Hehehe… Tak perlu diragukan lagi. Saya dan Eric memiliki posisi teoritis maupun nilai-nilai kehidupan yang “sama”.

Ada bukti lainnya. Eric selalu mengambil jarak, dan mencoba memikirkan ulang apa yang dilakukannya. Ini adalah pola sikap reflektif. Saya pun kerap kali melakukannya. Ketika pola mengambil jarak ini ditujukan pada hal-hal di luar diri, orang menyebutnya sikap kritis. Eric adalah seorang pemikir yang kritis dan reflektif. Tanpa mau menyombongkan diri, saya merasa, saya pun juga begitu.

Kami berdua tidak pernah puas dengan jawaban-jawaban dangkal. Kami benci dengan hal-hal klise (umum), dan selalu mencoba mencari alternatif lain yang lebih tepat. Kami mencari kedalaman di dalam kehidupan sehari-hari, tentu sesuai dengan jalur hidup kami masing-masing.

Kami berdua tak sabar dengan orang idiot yang merasa cerdas. Tak heran kami membenci orang yang sama (apakah benar, Ric?). Kerap kali kami bereaksi juga dengan cara yang sama. Dan tak heran pula, kami dibenci oleh orang yang sama. Hehehe…

Di balik itu semua, saya yakin, Eric adalah pribadi yang lembut dan sensitif. Saya yakin ia akan tertawa membaca kalimat di atas. Hahahaha…Saya tahu bahwa ia amat peduli pada pendidikan, dan sama sekali tak suka dengan pola pendidikan formal yang ia tekuni selama ini. Mengapa saya tahu itu? Karena saya juga… ahahahaha…

Kami berdua amat mencintai paradoks, yakni ketika dua hal yang tampaknya bertentangan justru menjadi benar di dalam perbedaannya, seperti orang yang terlalu banyak belajar akan menjadi bodoh, atau kreativitas perlu melalui proses kehancuran, sebelum ia lahir dan berkembang. Itulah kontradiksi yang menghidupkan.
All great truths are in the form of paradox”, begitulah Eric selalu berkata. Dan seperti biasa; saya sangat setuju dengan pendapat itu. Kita lahir melalui penderitaan yang amat dasyat yang dijalani oleh ibu kita. Hidup ini pada hakekatnya adalah paradoks. Eric pasti setuju dengan pendapat itu. Mengapa saya tahu? Karena saya juga setuju…. Hahaha

Namun tentu saja kami dua individu yang berbeda. Berkali-kali kami berdiskusi keras. Ia selalu berkata begini, “Rez, ide lo bagus… Tapi ide itu perlu punya kaki supaya bisa jadi kenyataan. Kita perlu make it happen Rez, ga hanya ide-ide cemerlang.” Saya banyak belajar dari diskusi-diskusi tersebut. Namun ironisnya saya setuju Eric, walaupun ia tidak setuju dengan pendapat saya.

Sekarang saya sibuk dengan menciptakan kaki untuk semua ide-ide saya yang aneh-aneh. Setelah pindah ke Surabaya, saya sangat jarang bertemu dengan Eric. Namun jika ada waktu, entah Eric ke Surabaya, atau saya ke Jakarta, kami selalu menyempatkan waktu untuk berjumpa, selalu. Dan bagi saya (semoga juga bagi Eric), setiap perjumpaan kami selalu bermakna, seberapapun singkatnya.

Orang bijak bilang begini, hadiah yang paling besar adalah kehadiran seorang sahabat sejati. Saya setuju dengan pendapat itu. Saya punya kenangan buruk dengan Atma Jaya, Jakarta. Namun semua itu hilang, ketika saya ingat, bahwa saya punya beberapa teman yang amat baik di sana (Raymond –sudah keluar-, Bu Murni, Bu Nani, Pak Mikael Dua, Pak Embu, Indra, Gita), dan seorang sahabat sejati, itulah Eric.

Sekarang ini Eric memutuskan untuk mengundurkan diri dari Atma Jaya. Saya rasa inilah salah satu keputusan terbaik yang pernah dibuatnya. Ia keluar dari kemapanan institusi pendidikan formal, dan menjadi nol lagi dengan segala kreativitas dan energi hidupnya yang luar biasa.

Ini mengajarkan kepada saya, dan juga kepada para mahasiswa maupun pembaca tulisan ini, untuk setia dengan passion yang membakar dalam diri. Ia mengajarkan kepada kita untuk tidak menjadi pengecut yang takut pada gerak kehidupan. Badai mungkin menghadang. Tetapi saya yakin Eric akan hidup, dan hidup dengan segala kepenuhannya. Saya yakin itu.

Dalam salah satu pidatonya, Steve Jobs pernah bilang begini, “Stay foolish, Stay Hungry, that’s what I wish for my self, and for you all.” Saya menangkap bahwa Jobs mengajak kita untuk terus bergerak, mencari, jatuh, bangun, berkarya, dan tak pernah puas dengan kemapanan. Jobs mengajak kita semua untuk menjadi para penantang kehidupan.

Untuk Eric Mulyadi Santosa: stay foolish and stay hungry, brother! Dan supaya kamu tetap tahu, kamu tidak sendirian. Tidak pernah sendirian.

Surabaya, 2011
Reza A.A Wattimena (sahabatnya Eric)
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

No comments:

Post a Comment