#tribute-to-mas-eric-18
Mendapat kabar bahwa Mas Eric akan berhenti mengajar di kampus nan jaya itu kenapa membuat gue merasa galau yah? Ya gue memang telah menuntaskan masa kuliah gue, yang berarti kalaupun beliau berhenti mengajar pun maka tidak ada pengaruhnya juga dengan gue toh. Setelah ditelusuri, mungkin ini karena betapa hebatnya pengaruh beliau dalam diri gue, dan mungkin teman-teman lain yang pernah diajar olehnya. Dengan pengaruh positif tersebut, rasanya akan sayang seribu sayang jika tidak diteruskan ke generasi selanjutnya. Walaupun hal ini membuat gue merasa beruntung karena telah menjadi salah satu mahasiswa pernah diajar dan dibimbing skripsinya oleh beliau.
Pengaruh positif yang gue dapatkan dari beliau adalah bukan hal-hal turning point yang ekstrim, melainkan lebih kepada sebuah proses. Harus gue akui, proses itu terjadi di setiap kelas peminatan Sosial yang diajar oleh beliau sampai pada bimbingan skripsi. Masih ingat di kepala gue ketika beliau memberikan ceramah pembuka di salah satu mata kuliah demi menyambut kami-kami yang baru saja duduk di kelas mata kuliah peminatan sosial pertama kami: "Kalian kenapa sih masuk peminatan sosial? Mau jadi pekerja sosial? YAKIN? Pekerja sosial itu engga ada duitnya loh! Lo kerja mau cari duit kan? Buat kasih makan anak istri kan? Kalau mau cari duit engga bisa di dunia sosial! Udah lah, kalian pindah aja ke peminatan PIO, Pendidikan, atau Klinis!".
Gue sangat suka bagaimana beliau tidak mengajar mahasiswanya untuk menjadi mahasiswa ber-IP tinggi, tetapi lebih mengajar mahasiswa untuk menjadi "orang benar". Dari perilaku beliau yang cukup cuek dengan nilai dan daftar absensi, gue menangkap bahwa kedua hal tersebut adalah hal absurd yang dapat mengalihkan mahasiswa dari tujuan awal kegiatan belajar-mengajar; belajar untuk menjadi lebih. Proses belajar tersebut pun tidak semudah 1 + 1 = 2 dan yang diajar pun tinggal mengangguk setuju. Beliau malah mengharapkan kami-kami dapat bertanya lebih lanjut dan tidak segitu mudahnya pasrah akan cekokan suatu pengetahuan baru. Beliau ingin menyadarkan kami bahwa pendidikan itu bukanlah model murid yang disuapi secara seragam oleh pengajarnya. Seperti bagaimana ketika pendidikan jaman Sekolah Dasar dulu pada pelajaran kesenian, SEMUA murid diminta menggambar dua gunung yang seperti (maaf) tetek dengan matahari di antaranya dan sawah di bawahnya (kurang lebih kalimat ini pernah beliau angkat dalam salah satu perkuliahan kami).
Selama bimbingan skripsi bersama beliau pun gue benar-benar merasakan cara mendidik beliau yang "tidak biasa". Alih-alih disuapi dengan materi-materi yang berhubungan dengan bahan, gue hanya diberikan judul-judul atau nama-nama referensi yang harus gue telusuri sendiri. Ibarat kata, gue hanya ditunjukkan pintu-pintu yang ada, yang sekiranya bisa membantu perziarahan gue, lalu terserah gue apakah gue mau memasuki pintu tersebut atau tidak. Dan terserah juga bagaimana cara gue menjalani dan menghadapi apa yang ada di balik pintu tersebut. Setiap bimbingan pun gue sadar bahwa betapa tidak bergunanya pertemuan tersebut jika gue tidak berbicara dengan frekuensi yang sama dengan beliau. Maka datang dengan kepala kosong dan berharap mendapat pencerahan dengan diisikan sesuatu jelas bukan apa yang dia harapkan.
Seperti layaknya memasuki dan menjalani apa yang ada di balik pintu tersebut, bertahan hidup dengan berdiri di atas kaki sendiri adalah kira-kira apa yang bisa gue petik dari pengalaman interaksi gue dengan beliau. Di mana hal tersebut menjadi semakin nyata ketika beliau pamit pergi di seperempat awal sidang skripsi gue. *glek* Nyeleneh ya? Haha! Sayang, padahal gue ingin berbagi kemenangan dengan fasilitator gue itu.
Proses belajar untuk menjadi lebih baik itu memang suatu proses yang abadi. Namun yang pasti, kenapa sekarang gue bisa terdampar di jalan hidup gue yang gue pilih ini, sedikit banyak mendapat kontribusi dari interaksi gue dengan beliau. Hal-hal seputar materi macam nilai, daftar kehadiran, dan bahkan uang, terkadang menjadi absurd ketika disandingkan dengan ilmu pengetahuan dan passion terdalam. Belajar untuk berpijak secara benar dengan kekuatan sendiri dan selalu kritis ternyata menjadi salah dua hal penting untuk dapat bertahan hidup di dunia luar. Belum lagi berbagai referensi dari beliau yang berhubungan dengan konsep Archetype Innocent, yang malah membangkitkan archetype tersebut dalam diri gue sampai sekarang.
Mas Eric, terima kasih atas pelajaran akan hidup, (yang mungkin secara tidak sadar) yang telah lo ajarkan ke gue. Gue enggak tahu apakah elo masih akan menjadi seorang pengajar atau tidak. Tapi yang pasti di mata gue, elo selalu tetap menjadi seorang dosen mata kuliah kehidupan di kampus bernama dunia nyata.
Selamat melanjutkan perjalanan, suhu!
Timo (mahasiswanya mas Eric, angkatan 2005)
Pages
Tentang Blog!
Blog ini dibuat untuk mengumpulkan tulisan dari mahasiswa, rekan kerja, alumni, dosen, atau siapa pun yang mengenal dan punya pengalaman berkesan dengan mas Eric. Kumpulan tulisan ini akan dibukukan, untuk diberikan kepada mas Eric pada 18 Mei 2011, saat pesta perpisahan beliau. Tulisan bisa dikirimkan ke: octovary@gmail.com, paling lambat 15 Mei 2011.
Kumpulan tulisan sudah dibukukan dan diberikan ke mas Eric, sekaligus ke semua penulisnya.. Tanggapan hangat dari mas Eric juga sudah disampaikan ke semua penyumbang tulisan, bisa dilihat dari blog mas Eric di:
No comments:
Post a Comment