Tentang Blog!

Blog ini dibuat untuk mengumpulkan tulisan dari mahasiswa, rekan kerja, alumni, dosen, atau siapa pun yang mengenal dan punya pengalaman berkesan dengan mas Eric. Kumpulan tulisan ini akan dibukukan, untuk diberikan kepada mas Eric pada 18 Mei 2011, saat pesta perpisahan beliau. Tulisan bisa dikirimkan ke: octovary@gmail.com, paling lambat 15 Mei 2011.


Kumpulan tulisan sudah dibukukan dan diberikan ke mas Eric, sekaligus ke semua penulisnya.. Tanggapan hangat dari mas Eric juga sudah disampaikan ke semua penyumbang tulisan, bisa dilihat dari blog mas Eric di:

Mas, Saya Nge-fans!

#tribute-to-mas-eric-33

Daripada menyebut beliau sebagai seorang dosen, saya lebih senang menyebutnya sebagai idola. Dan saya yakin, beliau bukan hanya idola bagi saya, melainkan juga bagi sekian banyak mahasiswa dan non-mahasiswa yang mengenal beliau entah di mana pun dan dari mana pun.
            Saya pernah memiliki kesempatan untuk menjadi mahasiswa dan diajar oleh beliau saat semester 2, Metode Penelitian II. Di awal kuliah, saya bertanya-tanya dalam hati mengenai apa yang sebenarnya AKAN saya pelajari dari kuliah ini. Di pertengahan, pertanyaan itu dilontarkan balik oleh beliau ke depan muka saya (dan teman-teman yang lain tentu saja). Seperti tiba-tiba disadarkan bahwa kami bukan lagi anak SMA yang menunggu dicekokin isi pelajaran, tetapi belajar sendiri menemukan apa yang ingin kami ketahui dan apa yang dosen kami ingin kami tahu dari mata kuliah yang diajarnya. Di akhir kuliah…, hmm… saya lupa apa yang akhirnya saya dapatkan. Saya cuma ingat bahwa semenjak saat itulah saya menjadi fans-nya beliau J.
            Setelah semester itu, saya tidak pernah lagi mendapat kesempatan untuk menjadi mahasiswinya. Tetapi, kabar-kabar mengenai kiprahnya, sekaligus tingkahnya yang nyeleneh masih sering saya dengar. Dan saya diam-diam masih menjadi fans setianya. Seringkali saya menanyakan kabar beliau kepada seorang teman dan teman yang lain, dan di setiap akhir cerita, saya seringkali mengangkat topi tanda salut atas apa saja yang beliau kerjakan (ditambah dengan makin nge-fans tentu saja :p).
            Sampai suatu hari, saya bertemu beliau seusai sebuah pameran di Atma Jaya. Saya melihat beliau, tidak bermaksud menyapa karena memang tidak terbiasa demikian (namanya juga fans, malu ah! Haha). Di luar dugaan, justru beliau-lah yang menyapa saya. Singkat saja.
Mas E  : Lo sibuk ngapain sekarang, Tha?
Saya    : Eh… (agak deg-degan, disapa idola)
Mas E  : *menatap* (sepertinya menunggu dijawab)
Saya    : Lagi S2, mas! (masih sambil deg-degan)
Mas E  : Lha, kuliah lagi? Ngga cukup ya S1?
(entah kenapa pertanyaan barusan itu rasanya sulit sekali untuk
dijawab, akhirnya yang keluar cuma…..)
Saya    : *senyum*
Mas E  : *senyum balik* *agak lebar*
Saya    : (merasa agak terhina, tapi sayangnya tetap nge-fans, eh… malah tambah nge-fans!)
Guess what? Sampai hari ini, saya  masih mencari jawaban untuk pertanyaan singkat beliau tersebut. Bukan sekedar jawaban normatif, seperti saya masih ingin mengejar ilmu atau mendapat titel, saya sendiri yakin pilihan saya untuk kuliah lagi didasarkan oleh alasan yang lebih dari itu. Bodohnya adalah, saya baru sadar bahwa pertanyaan itu ada (dan penting untuk dijawab!) setelah beliau tanyakan, persis seperti pengalaman yang saya alami dulu saat kuliah di bawah asuhan beliau.
Mungkin, suatu hari nanti, gue akan punya kesempatan untuk menjawab pertanyaan itu lagi, mas. Bukan cuma dengan senyum, tentu saja J.

Good morning, good afternoon, and good evening, then, Mas!

Luck for you!
Retha Arjadi (Mahasiswinya Mas Eric, angkatan 2006. Merangkap Super Big Fan-nya Mas Eric!)

Mas Erik Itu...

#tribute-to-mas-eric-32

MAS ERIK ITU,
Katanya sih galak…
Katanya suka abstrak…
Katanya pinter banget…
Katanya suka enggak jelas…

Bener sih!
Cuman, itu pandangan saya tentang Mas Erik dulu… Ya, dulu sekali…
Ketika saya hanya mendengar cerita tentang dia dari teman-teman.
Ketika saya hanya bisa melihatnya dari kejauhan di kampus dan sebuah acara seminar foto jurnalistik di Goethe.
Ketika saya hanya bisa berharap ingin sekali diajar oleh dia.

Oke. Tapi di lain sisi itu menjadi berbeda ketika saya sudah mengenal Mas Erik lebih dekat. Buat saya Mas Erik itu adalah sosok dosen dan  teman yang sangat luar biasa.

Dosen
Seorang dosen, ya iyalah. Ketemu di kelas, di kampus, dan emang tugasnya juga ngajar. Seorang dosen yang apa adanya dan ada-ada aja. Apa adanya, terlihat dari setiap kalimat yang diucapkannya dan penampilan yang menurut dia nyaman *tau sendiri kan setelan dia, kemeja celana dan spatu sneakers! hehe. Ada-ada aja, terlihat dari setiap pemikiran dan ide-idenya yang sangat fantastik. Tak heran banyak orang yang ingin menjadi seperti lu, Mas. Ada-ada aja tingkah lakunya yang kadang gak masuk akal.

Inget banget pas di kelas Psikologi Budaya. Ketika itu Mas Erik lagi ngajar gantiin Mas Raymond. Pas dia ngomong, di luar lagi berisik. Trus dia minta saran ke kelas harus gimana ya. Trus anak-anak satu kelas ada yang kasih saran suruh telepon Mbak Atink. Ehh, dia nelpon beneran!
*Kalo untuk yang ada-ada aja ni iya mas, gw mulai ngikutin lu ni! Gimana yaa? Adddooooh…  _ _”

Teman
Seorang teman, karena saya bisa banyak belajar dari dia. Belajar mengenal dia, dunia, dan tentunya diri saya sendiri. Inilah yang saya dapatkan dari teman-teman saya.
Seorang teman, karena Mas Erik selalu bisa membuat orang yang berbicara dengannya merasa didengarkan dan menjadi orang yang paling diperhatikan di dunia, termasuk saya.
Seorang teman, teman yang membawa saya mengarungi dunia yang belum pernah saya lihat sebelumnya dengan segala daya tarik yang ada.
Seorang teman, yang selalu bertanya tentang bagaimana kabar saya. Selalu menyapa “Eh ada Leo!”.
Seorang teman ngobrol yang asik. Yang paling gila ya pas dia bilang “Le.. Sini cerita ada apa? Gue dulu sama temen-temen gue dipanggil dokter cinta lhoo..”
*Sama sekali engga ada bayangan dia yang seperti itu bisa ngomong kaya gini..

Yah, pada intinya, masih enggak habis pikir sih bisa ada orang seperti Mas Erik. Di mana – mana, di tempat yang saya kunjungi banyak yang kenal nama Mas Erik. Haduuuh. Eksis bener ni orang! Haha. Satu perkataan dia yang paling saya inget “Nobody perfect. I’m nobody”. Buat saya, sejauh ini dia perfect dan jadi teladan banget.

Makasih mas buat semuanya! Khususnya penyadarannya untuk hidup sebagai manusia, bukan zombie. Haha.

Terima kasih sudah mengajarkan gw melakukan segala sesuatu dengan HATI. Btw, karena lo gw bisa memang di Olimpiade Psikologi Nasional, double winner lagi…
*somboong! hahaha..
Semuanya karena dilakukan dengan hati.

KITA MASIH BISA KETEMU LAGI KAN?
YA KAN?
Jawab iya ya Mas, biar gw seneng… Kalo enggak gw sedih ni! Hahaha..

Salam, 
Leo Agung (mahasiswanya Mas Erik, angkatan 2007. Sekaligus pembuat minuman, juga student in everywhere)

Don't Try to be a Hero!

#tribute-to-mas-eric-31

Secara tidak sengaja, pertemuan pertama saya dengan Mas Eric terjadi pada tanggal 1 Desember 2007, tepatnya di Auditorium Gedung Yustinus lantai 15. Ingatan persis akan tanggal dan tempat pertemuan, pertama-tama bukan karena begitu pentingnya pertemuan dengan Mas Eric pada waktu itu (hehehehe :p), melainkan karena begitu pentingnya peristiwa yang terjadi saat itu, yaitu: “Pelantikan Rektor Unika Atma Jaya periode 2007-2011”. Waktu itu kalau tidak salah Mas Eric adalah Ketua Panitia acara itu dan gue di sana dalam kapasitas membantu saja. Karena acaranya berbarengan dengan kegiatan “Atma Expo II 2007”.

Setelah acara itu selesai gue baru tahu peran besar yang dimainkan oleh Mas Eric untuk peristiwa itu. Ketua Panitia suatu acara pasti perannya penting banget dong? Tapi menjadi mahapenting kalau acara itu harus terselenggara dalam situasi dan kondisi yang tidak kondusif. Cukuplah dikatakan bahwa proses pemilihan Rektor Unika Atma Jaya kala itu tidak semulus kali ini (Semoga!). Seperti apa maksudnya? Tanya Mas Eric saja! Hehehe. Rasanya berubah-ubahnya lokasi resmi untuk acara pelantikan itu sehari sebelumnya cukup memberi gambaran betapa tidak menentunya situasi waktu itu. Sampai waktu itu gue menilai Mas Eric sebagai seorang ahli strategi. Jangan Ge-eR ya Mas! Hehehe..

Setelah pertemuan waktu itu, perjumpaan dengan Mas Eric biasanya hanya sebatas perjumpaan sambil lalu saja. Hanya saja semakin banyak info yang bisa gue dapet tentang Mas Eric dan track record­-nya. Hehehe. Seperti yang kita kerap kita tertawakan, Mas, “Di Atma Jaya itu, dinding pun bertelinga..”. Selain perjumpaan sambil lalu, ada juga sih kesempatan ngobrol-ngobrol lepas dengan Mas Eric. Dan gue cukup yakin bahwa kesan yang kurang lebih serupa dialami juga oleh rekan-rekan yang lain kalau seandainya bertemu dengan orang satu ini.

Kesan bahwa Mas Eric adalah orang yang senantiasa pandai menarik minat kita untuk mendengarkan paparan pengalamannya, argumentasi teorinya, mimpi idealisnya atau grundelan-nya tentang apapun. Biasanya sih omongannya itu kerap ditemani secangkir kopi hitam dan sebatang rokok yang dihisap “setengah hati” karena lebih banyak bicara ketimbang menghisap rokok yang sudah disulutnya itu.

Pertemuan cukup panjang lainnya sempat terjadi di suatu pagi, persisnya di salah satu sudut kantin. Waktu itu tujuan gue adalah lebih ingin meminta pendapat tentang apa yang perlu dan apa yang penting, untuk dilakukan dalam rangkaian Pesta Emas Atma Jaya. Bagaimana hasilnya? Abstrak! Setidaknya menurut gue! Hehehe. Tapi, walaupun abstrak gue cukup senang karena bisa mendengar grundelan-grundelan Mas Eric. Dan lebih senang lagi ketika akhirnya Mas Eric bisa bergabung dalam Tim Gabungan Penyusunan Visi Strategis Atma Jaya, semoga namanya bener yah. Hehe.

Terakhir, pertemuan yang cukup panjang terjadi belum lama ini. Kalau tidak salah pada Januari 2011. Waktu itu gue dalam posisi yang bimbang soal pekerjaan. Resep yang diberi ternyata nggak terlalu berbeda dengan yang diberikan Mbak Atink sebelumnya. Hehehe. Tapi, satu hal yang gue inget waktu itu adalah Mas Eric sempat bilang yang kurang lebih begini, “Kalau lu mulai bertanya tentang pekerjaan lu, berarti itu suatu pertanda bahwa lu perlu ber-refleksi soal pekerjaan lu, soal masa depan lu. Itu berarti kreativitas lu mengundang lu untuk bergerak”. Dan benar saja, tidak lama setelahnya gue memutuskan untuk mengundurkan diri dan beralih ke lingkungan yang cukup berbeda dari pekerjaan sebelumnya.

Banyak sih kalau mau cerita tentang Mas Eric, walaupun kesempatan kami untuk bertemu tidak banyak. Satu hal yang cukup gue sesali adalah kenapa Mas Eric gak ngajar di fakultas gue! Hehehehe.. Walaupun mungkin bidang ilmunya berbeda, Mas Eric cukup bisa membelalakkan mata gue waktu menjelaskan bagaimana lahirnya prinsip-prinsip bidang-bidang hukum yang saat ini populer, seperti Hak Atas Kekayaan Intelektual, Perseroan Terbatas, Hukum Pasar Modal, cukup dari suatu buku asing yang dimilikinya.

Ada juga beberapa perkataan Mas Eric yang cukup gue inget, misalnya, “Don’t try to be a hero!”, ada lagi, “Jangan mau ikut tenggelam bersama kapal yang hampir tenggelam”. Gue yakin Mas Eric pasti tahu konteksnya kenapa kalimat-kalimat itu diujarkannya. Sampai sekarang gue memang masih tidak setuju dengan ujarannya itu. Mungkin karena gue bukan ‘penumpang’ kapal itu. Gue masih berpendapat, tidak perlu jadi pahlawan untuk menyelamatkan sesuatu yang berharga dari kapal itu, Mas. Mana pendapat yang benar? Tentu waktu yang bisa membuktikan. Hanya saja, pembicaraan-pembicaraan seputar hal-hal ini seringkali menghantar gue untuk pasrah, melepas terlalu banyak orang berharga dari kampus ini yang ceritanya kurang lebih hampir sama: “habis manis sepah dibuang”.

Selamat jalan, Mas.

Semoga akan ada banyak kesempatan untuk bisa berdiskusi lagi tanpa bicara soal kapal atau dinosaurus itu, tapi bicara tentang “bergerak”.

Salam,
Willem L. Turpijn (kenalannya Mas Eric)

Hey, Professor Dumbledore!

#tribute-to-mas-eric-30

Mas Eric pertama saya tahu dari cerita teman seangkatan yg mengikuti perkuliahan dia, yaitu mata kuliah Metode Penelitian dan Metode Kualitatif. Dosen yang satu ini dikenal jarang masuk dan selalu telat. Selain itu, dikenal juga suka ‘ngambek’. Saya, saat itu, hanya tertawa saja mendengar cerita teman-teman. Hingga akhirnya, saya tahu kenapa dia suka telat dan jarang masuk.

Akhirnya, kami dipertemukan di kelas Psikologi Budaya. Cerita teman-teman mengenai dosen yang sering telat dan jarang masuk ini saya alami sendiri. Bahkan dalam sebuah pertemuan, dia digantikan oleh seorang mahasiswa yang setahun di atas saya. Namun, ironisnya adalah, dosen inilah yang membuat saya akhirnya kecemplung di peminatan Sosial. Dan saya tidak pernah menyesal sekalipun berada di kelas sosial dan diajar olehnya.

Perpaduan teori, pengalaman, dan bumbu tambahan yang tidak sedap malah membuat saya semakin terpukau dengan Mas Eric. Ketika kelas Teori Aktivitas Manusia, kelas pertama di peminatan sosial, Mas Eric mengajukan pertanyaan, “Kenapa memilih masuk Sosial dan mau jadi apa?” Saya pun menjawab (dan juga dua teman saya), “Saya suka dengan komunitas dan saya ingin menjadi market research.” Beliaulah yang membuat saya ingin mengambil bidang pekerjaan itu. Cerita-cerita selama di kelas Psikologi Budaya-lah yang membuat saya ingin menjadi seorang market researcher.

Mas Eric, dengan segala pemikiran-pemikiran abstrak, kecentilannya kalau ada yang baik sama dia, ketegasannya, kata-kata kesukaannya yaitu “mahasiswa zombie” dan “paper sampah”, telah menjadikannya seorang role model bagi saya sendiri. Pengalaman berbincang dan berdiskusi bersama dengan dia dalam beberapa kesempatan, membuat saya sungguh mengagumi sosok seorang Mas Eric. Bahkan, salah satu hasil diskusi kami, membawa saya menemukan passion saya. Thanks Mas!

Di balik sisi jahatnya yang selalu menindas mahasiswanya dengan kata-kata favoritnya, Mas Eric adalah seorang teman, sahabat, dan ayah bagi saya dan teman-teman. Dia mirip dengan tokoh Professor Dumbledore dalam kisah Harry Potter (silahkan teman-teman bayangkan tokoh Professor Dumbledore). Di satu sisi tegas dan sering marah kalau mahasiswanya ‘bodoh’. Di sisi lain, dia sebenarnya sayang dengan mahasiswanya, dia mau mengembangkan mahasiswanya, dia mencetak mahasiswanya agar kelak menjadi orang yang berguna bagi orang lain.

Hey, Professor Dumbledore, thanks!
A. P. Putra Purnomo (mahasiswanya Mas Eric, angkatan 2007)

Koreografer: Penari yang Menari Bersama Tariannya

#tribute-to-mas-eric-29

Seni adalah suatu hal yang indah namun terkadang absurd. Indah karena dinamika dan harmoni sungguh terpancar di dalamnya. Indah karena proses kreatif manusia melahirkannya Indah karena tercipta dari pengalaman, proses refleksi dan interpretasi penciptanya: manusia.

Di dalam ilmu Psikologi pun, terdapat seni.  Bahkan sebenarnya seni pun tercakup di dalam Psikologi. Sebab seni adalah proses menggabungkan atau menciptakan sesuatu yang mampu menjangkau indrawi kita, bahkan mampu menyentuh jiwa dan memberi ilham lagi, lagi, dan lagi. Baik kepada si pembuatnya maupun manusia lain yang menikmati seni tersebut.

Seni itu indah, kawan. Tapi terkadang kita lupa bahwa seni yang indah itu pun juga ada di kehidupan kita, di dunia Psikologi. Di tengah-tengah semester empat yang padat dan penuh tenggat waktu tugas dari 90% mata kuliah di semester itu, ada satu mata kuliah yang mampu memberi oase. Meski berlangsung di pukul tujuh pagi setiap Selasa, kuliah itu memberi nafas dan ruang gerak bagi saya untuk kembali hidup.

Betapa menyenangkannya mengikuti suatu mata kuliah tanpa harus membawa buku.
Cukup membawa pengalaman, keingintahuan, penasaran, kerendahan hati untuk bertanya, serta keterbukaan untuk dikritik (baca: dibabat) pemikirannya oleh dosen yang bersangkutan. Saya tak pernah menyangka di suatu pagi di hari Selasa pukul tujuh pagi itu, sang dosen memperdengarkan musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono-kesukaan saya-, berjudul “Hujan Bulan Juni”.

Bayangkan, betapa hari itu menjadi oase bagi saya. Terhidupi dan tersegarkan melalui lantunan musikalisasi puisi, mengikuti untaian kata demi kata dalam melodi. Dan setelahnya, sang dosen bertanya kepada para mahasiswa apa makna dari lagu itu? Apa yang dipikirkan subjek dalam lagu itu? Sampai ternganga kesenangan saya.

Di saat mata kuliah lain di semester yang sama begitu mengkotak-kotakkan alur pikir saya, ternyata MASIH ada satu mata kuliah, yang walau hanya dua SKS dan dosennya sering terlambat bahkan tidak masuk, memberi saya sejumlah hal berikut:
Kesempatan dan kebebasan.
Kesempatan untuk bebas berpikir.
Kesempatan untuk bebas bermimpi
Kesempatan untuk bebas memandang hidup dari interpretasi pribadi saya sendiri.
Kesempatan untuk bebas menjadi diri sendiri.

Kesempatan itu membuat saya selalu menunggu-nunggu hari Selasa pagi dengan antusias. Di kesempatan berikutnya sang dosen mengungkit-ungkit tentang tarian dan Salihara. Dua hal yang juga saya sukai dan minati. Tentang tarian ia bertanya, “Pernahkah kamu bisa membedakan antara penari dan tariannya?” Saat ia bertanya seperti ini di kelas, di kepala saya langsung berputar fragmen-fragmen tarian yang pernah saya lihat dan alami. Tidak, pikir saya. Tarian tidak pernah terpisah dari penari. Penari adalah entitas dari tarian itu sendiri.

Penari yang benar-benar menjiwai tariannya adalah penari yang terlihat begitu alami dan mengalir ketika menari. Sampai orang lain yang melihatnya bahkan tak akan menyadari bahwa tarian itu sebenarnya dipelajari, diajarkan, bahkan dilatihkan berulang kali kepada si penari. Namun, apakah latihan saja cukup?  Latihan berulang kali bahkan ratusan kali tanpa pernah bisa MENJIWAI dan MENGHAYATI apa yang ditarikannya tidak akan pernah menjadi suatu tarian yang indah.  Tidak akan pernah.

Begitu pula dengan ilmu Psikologi. Aah... Di titik itu saya mendapatkan pencerahan. Point of no return. Sebab tak ada tempat lain untuk saya berpaling. Sebab ini dunia saya yang secara sadar atau tidak dituntun dan dicerahkannya pada setiap kelas di Selasa pagi. Terima kasih Mas Eric karena pernah dan selalu menginspirasi saya untuk mencintai hidup melalui melakukan hal-hal yang disukai dan memakai Psikologi sebagai sebuah seni.

Ternyata, menggunakan ilmu Psikologi sebagai kaca mata dalam menonton film, melihat pameran lukisan, menonton pertunjukkan tari dan musik, bahkan dalam iklan, pakaian, dan fashion membuat hidup terasa lebih hidup.

“A king doesn’t need a crown to proof that He is a king”
without a crown you are truly a king...

Salam,
Anastasia Satriyo (mahasiswinya Mas Eric, angkatan 2008)

Dan Saya Pun Terpana, Melongo, dan Terkagum-kagum

#tribute-to-mas-eric-28

Berada di kelas Mas Eric itu deg-degan. Deg-degan ada dosen atau nggak! Hehe.
Agak menyimpang sedikit sih tulisan gw, karena gw lebih penasaran sama bagaimana awal ketemunya Mas Eric sama sang istri: Mbak Atink! Apakah cinta pada pandangan pertama seorang dosen kepada mahasiswinya? Soalnya sejauh ini, hanya itu sih gambaran yang kebayang sama gw. :D

Gw merasa, Mas Eric sangat menghargai dan menghormati mahasiswa/i-nya, sehingga dia menganggap bahwa mahasiswa/i-nya bisa diajak ngobrol dengan biasa. Dan harusnya nyambung sama obrolan dia. Tapi, yang kebanyakan terjadi di kelas justru sebaliknya: sunyi senyap! Ketika beliau sedang memberikan bahasan ataupun melemparkan pertanyaan. Juga saat beliau memberikan feedback. Saya dan teman-teman kebanyakan diam. I didn't know why.

Dia membuka begitu banyak wawasan baru dengan cara pandangnya sendiri. Hal itu seringkali membuat saya berpikir "ya itu bisa saja terjadi" atau "oh, ternyata begitu yah...” . Dan saya pun hanya bisa terpana, melongo, dan terkagum-kagum.

Akhir kata, “He’s a great man, and I think he's a family lover “ :D

Thanks Mas Eric,
Mira Sucianti (mahasiswinya Mas Eric, angkatan 2006)

Dari Musik Kita Bertemu, Bersama Kopi Kita Saling Mengenal

#tribute-to-mas-eric-27

Pertama kali aku kenal sosok bernama Albertus Magnus Eric Mulyadi Santosa adalah pertengahan 1990an di sebuah konser musik klasik di Gedung Kesenian Jakarta. Pertemuan berlanjut dalam beberapa pagelaran musik lainnya, dan sambil menulis ini, aku baru tersadar:  Lho, kita ketemunya bukan karena profesi tapi karena musik ya, Eric?”

Dari ngobrol ringan sehabis kenalan, akhirnya tahu profesinya sama, maka mulailah  obrolan “naik tingkat”.  Apalagi yang  dibahas dua orang psikolog selain membicarakan manusia lain? Dengan kata lain: rumpi, tetapi pura-pura rumpinya intelek. Ternyata memang ada beberapa persamaan interest yang kita miliki.

Lalu suatu hari  Eric mengundang aku menjadi pembicara tamu di salah satu kuliahnya untuk sharing pengalaman. Aku lupa judul mata kuliahnya, tetapi ada kaitan dengan perubahan sosial. Wow, sharing pengalaman apa ya? Bingung, tetapi ketika itu Reformasi baru saja berlalu, dan beberapa pengalaman terkait peristiwa itu rasanya bisa dibagi kepada mahasiswa.

Meskipun belum menjadi dosen Unika Atma Jaya saat itu, namun hubunganku dengan UAJ cukup erat melalui kegiatan PKPM. Beberapa kali aku mengikuti diskusi, rapat, atau workshop yang juga dihadiri Eric, dan sesudahnya pasti berlanjut menjadi obrolan di warung atau kafe sambil ngopi atau ngebir, membicarakan segala sesuatu dari A sampai Z. Hal-hal sepele tak berguna bisa jadi isu mahapenting untuk dipertanyakan, yang tetap tidak kita temukan jawabannya.  Ngobrolin film, musik, sastra dan bahasa, busana, gaya hidup, politik Presiden Soeharto, pendidikan di SMA (ternyata kita satu almamater!), berbagai fenomena masyarakat, sampai observasi terhadap lingkungan sekeliling warung/kafe saat itu, bisa berubah jadi analisis-analisis psikologi ringan .

Tentu saja obrolan-obrolan itu harus diwarnai perdebatan “Kenapa begini…. kenapa begitu.. …Ah menurut gue sih nggak begitu dong…. Ah, nggak  tahu deh, mungkin juga yah…. Nggak boleh gitu sih sebenarnya… Yah, gue sih ngeliatnya gini…. Eh, bener juga kata lo ya…. Tapi kan….”  Pembicaraan dengan Eric selalu menarik, “panas”, menggelitik, dan setiap aku pulang ke rumah berasa mendapat pencerahan.

Setelah jadi dosen honorer tahun 2001, interaksi bersama Eric menjadi lebih intensif dan ekstensif, meskipun terpotong sejenak ketika Eric ke Jerman.  Kami pernah sama-sama ikut menjadi pendamping Pramabim, sama-sama ikutan Konferensi Internasional Psikologi lintas budaya di Yogyakarta, sama-sama ikut membahas kurikulum 2003, sama-sama ikut kegiatan HIMPSI (sambil ngomel-ngomel bareng tentunya! Hahaha), dan bermacam kegiatan lain, termasuk sama-sama menyusup jadi pendengar di kuliah masing-masing.  Tetap saja semua itu akan dilanjutkan dengan obrolan di warung kopi. Hmm, sudah berapa cangkir kopi kita habiskan bersama ya, Eric?

Yang juga aku ingat adalah ketika pulang dari Timor Leste aku membawa oleh-oleh wine. Tanpa berpikir panjang, Eric mengajak saya ke ruang kerjanya di Rektorat dan langsung membuka botol tersebut. Tak perlu menunggu minum di rumah, katanya. Maka ngobrollah kita ngalor ngidul dari makan siang sampai malam hari di kantornya. Hmm, jadi bukan cuma kopi yang menemani kita ya? (Maaf, maaf, saya membuka rahasia, Eric J)

Anyway, kesibukan masing-masing dalam dua tahun terakhir ini barangkali membuat terkesan ada jarak antara Erik dan aku. Sesekali bertemu di ruang sidang skripsi, dan aku pun mendapat pencerahan tentang topik favorit barunya archetype, tetapi di luar itu sudah jarang ngobrol.  Terakhir ngobrol intensif yang aku ingat adalah awal 2010 di Plaza Semanggi dengan seorang teman yang bekerja di Afghanistan. Ah, serunya melihat teman dari Afghanistan ini sedang tergila-gila dengan buku Outliers, ngobrol berapi-api, lalu Sang Dosen Psikologi Sosial ini dengan sangat skeptis dan “sinis” menanggapi buku tersebut dengan negatif.  Barangkali itu pula salah satu ciri khas seorang Eric Santoso: selalu skeptis terhadap suatu fenomena, skeptis yang kadangkala disalahartikan sebagai sinisme.

Eric memang sosok kontroversial. Setahu aku di mata sebagian mahasiswa dia tokoh berwawasan luas dan senang berdiskusi, sementara di mata sebagian mahasiswa lain dia itu “manusia sulit” yang tidak mudah dibuat senang.  Bagi sebagian mahasiswa Mas Eric tampak sebagai sosok menakutkan (Ah, jangan sampai nanti sidang skripsi diuji Mas Eric), sedangkan sebagian lagi justru melihatnya sebagai tokoh yang mencerahkan (“Oh, ternyata pertanyaan Mas Eric waktu gue sidang skripsi itu daleeem banget lho. Ah, senengnya bisa diuji beliau”).

Masih bisa aku buat daftar lebih panjang lagi sebenarnya, tetapi sosok kontroversial inilah yang antara lain membuat aku cukup bertahan di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, karena selain jadi teman diskusi dia sekaligus adalah teman curhat. Dan kalau boleh jujur aku katakan: aku merindukan saat bisa duduk ngopi-ngopi bareng bersama dirimu, Eric.

Mas Eric... is simply amazing!

#tribute-to-mas-eric-26

Dr. Phil. Eric Mulyadi Santosa is my #1 teacher! Dosen yang galak iya, kejam iya, gokil juga iya, tapi juga sangat luar biasa baik. Cubicle-nya dipenuhi dengan buku-bukunya yang keren, termasuk majalah Donal Bebek dalam bahasa Jerman. Kalau nyari Mas Eric, harus kreatif. SMS, telpon, e-mail, facebook, YM, BBM, cari ke fakultas, tanya ke Mbak Atink (hahaha) dan terakhir kalau semuanya gak bisa, ya tongkrongin aja di depan lift Hall C.

Pertama kali gw kenal sama Mas Eric adalah ketika menjadi mahasiswi Metode Penelitian I (Metpen). Kesan awal: orangnya aneh, omongannya abstrak, ajarannya? Sekelas ga ada yang ngerti. Mau nanya? Bukan jawaban yg didapet, malah tambah pusing. Gw bingung, koq ada dosen kaya begini. Hehehe

Menjelang semester 5, saat lagi heboh-hebohnya mau pemilihan peminatan. Gw mendapat kuliah Psikologi Budaya. Dengan duet dosen maut yaitu Mas Eric dan Mas Raymond. Di kuliah ini, pandangan gw tentang Mas Eric berubah total! Sejak itu gw melihat bahwa Mas Eric itu brilian, kritis, serta mengajarkan apa yang gak pernah ada di buku. Sekarang, omongan abstraknya beliau adalah titik awal dari diskusi menarik. Kalau kuliahnya Mas Eric dibatalkan, gw kecewa berat! Karena hilang satu kesempatan bagi gw untuk menimba ilmu dari beliau.

Jujur, karena Mas Eric, gw tiba-tiba banting setir dan ganti haluan masuk Psikologi Sosial. Karena gw menilai, jauh lebih menarik untuk mempelajari hal yang abstrak. Hal yang tidak ada rumusnya. After all, manusia adalah makhluk sosial, beserta dengan dinamikanya yang kompleks. Di Sosial, gw belajar lebih dari sekedar Psikologi, tapi juga berbagai cabang ilmu lainnya. Standar tinggi yang ditetapkan beliau dari setiap karya yang kami hasilkan memicu kami untuk berpikir lebih tinggi, mengkritisi lebih dalam, berlari lebih cepat, serta melompat lebih tinggi.

Jutaan memori telah mewarnai hidup kami (anak Sosial 2004). Perkuliahan, birokrasi, perjuangan, kebersamaan. Mulai dari begadang bareng di Patal, tepar bareng di Hall C, kejar-kejaran deadline tugas akhir semester, sampe curhat bareng. Segala canda tawa dan air mata mewarnai dinamika nikmatnya jadi anak Sosial. Tentunya dengan keberadaan Mas Eric tercinta, yang bukan hanya sebagai dosen, tetapi juga sebagai sahabat, idola dan ayah kami.

Perjalanan semakin seru ketika memasuki masa SKRIPSI. Di saat semua mahasiswa lain menulis topik, lalu oleh fakultas ditentukan siapa Pembimbing Skripsi (PS) nya. Kami kompak menulis topik yang memang dibina oleh beliau. Ibaratnya kami menjerumuskan diri untuk masuk di bawah bimbingan Mas Eric. Banyak teman yang bertanya, “Kok lu mau sih jadi anak PS nya Mas Eric? Lulusnya lama!”. Kami hanya tersenyum, we know better.

Dalam perjalanannya, tidak sedikit halangan yang berdatangan. Tapi kami diasah untuk terus maju. Ada jokes di antara anak Sosial: “Lebih gampang nemuin Ariel Peterpan daripada nemuin Mas Eric.” True, tapi dari situlah gw melihat bahwa Mas Eric sangat care, bertanggung jawab, dan berdedikasi tinggi demi kemajuan anak-anak bimbingannya. Beliau rela balik lagi ke kampus cuma buat diskusi skripsi, padahal tadinya beliau sudah pulang. Gw paling inget kata-kata beliau menjelang sidang “Only you can help yourself. Lu yang paling ngerti skripsi lu, lu HARUS berjuang sendiri, gw gak akan bantu lu di sidang” (what a motivation!) tapi gw yakin, ini adalah salah satu cara ajaib beliau untuk mendidik gw. Bener aja, pas sidang berlangsung dan gw dicecer mati-matian, beliau cuma melirik dan memastikan gw survived. Kayaknya dalam lirikan mautnya seakan bilang “Awas lu Jenn klo ga bisa jawab dan berargumen.” Kalo diinget-inget, kocak juga! Pada akhirnya gw bersyukur sudah digembleng sedemikian rupa, sehingga mental gw jadi lebih kuat dan mandiri.

Lulus kuliah, life goes on. Ternyata dunia kerja memang kejam. Orang ga hanya menusuk lu dari belakang, tapi juga menusuk lu dari depan! Banyak kejadian yang gw lalui. Ada saatnya gw jatuh dan putus asa dengan keadaan. Pilihan untuk menyerah selalu ada dan tentunya kelihatan lebih mudah. Tapi gw selalu inget dengan kata-kata dan cerita inspiratif dari Mas Eric. Jadi, gw cepat bangkit lagi dan meneruskan perjalanan gw.

Mas Eric, thank you sudah berbagi banyak hal ke gw dan teman-teman. Lu udah menyentuh banyak orang dan mengubah pandangan banyak orang tentang makna hidup.

Thanks for Archetypes and all the inspiring stories.
Thanks buat dua tahun kebersamaan di Sosial yang menjadikan hidup kami magical.
Thanks for believing in us.
Thank you juga buat cara-cara ajaib lu dalam mendidik kami, meski terkesan galak atau mungkin kejam, but you taught us about the most meaningfull lesson of life: SURVIVAL and striving for excellency.

Dengan kepergian Mas Eric, Fakultas Psikologi Atma Jaya akan kehilangan salah satu asetnya yang paling berharga. Tapi, kemanapun lu melangkah selanjutnya, gw yakin lu akan selalu menjadi inspirasi bagi banyak orang. We’ll miss you, Mas. Good luck in everything.


Salam Sos.Com,
Jennifer Stefanie Nugraha atau Janihe (mahasiswinya Mas Eric, angkatan 2004)

"Segitiga - Archetype"nya Mas Eric

#a-tribute-to-mas-Eric-25

Hal pertama yang gw inget tentang Mas Eric adalah "Segitiga - Archetype". Dari mulai mata kuliah Psikologi Budaya (pertama kali diajar sama Mas Eric), sampe mata kuliah Sumber Daya dan Sarana Aktivitas, "Segitiga - Archetype" itu pasti dan selalu disebut. Hehehe.. Mas Eric punya style ngajar: dateng santai ga sesuai jam kuliah, materinya santai, tapi lebih fokus pada prakteknya. Gak tau kenapa, setiap masuk kelas Mas Eric, gw deg-degan. Takut ditanya tentang hal-hal yang gw gak tau. Itu terbukti sejak Mas Eric bilang di kelas "Saya mau yang out of the box!"

Sejak itu gw selalu deg-degan setiap kelasnya Mas Eric, apalagi kalau ditanya dan gw bengong kayak orang yang gak tau apa-apa. Hahaha. Mas Eric bilang di kelas (anak-anak Peminatan Sosial) bahwa kami harus baca koran setiap hari biar tahu banyak hal. Hihi.. Makasih ya, Mas Eric sudah membangunkan saya saat itu pada kenyataan, bahwa saya memang kurang tahu banget sama hal-hal yang sedang terjadi. Hehehe..

Pelajaran Mas Eric bisa dibilang ambigu, soalnya gw lebih suka pada saat praktek. Salah satunya ketika Hadjatan SiMbok. Gw belajar banyak saat itu, meskipun sempet bingung antara pangan sama batik. Akhirnya keputusan yang gw ambil ternyata betuuuuul! :). Dari praktek itu, diskusi-diskusi yang Mas Eric lakuin di kelas jelas kelihatan secara langsung. Gw belajar buat banyak baca tentang batik, tahu mengenai konsumen, tahu cara menjual, tahu makna dan tujuan dari acara Hadjatan SiMbok itu. Jadi, materi memang gak begitu penting bagi Mas Eric dan gw setujuuuu! Karena di lapanganlah semua hal bisa terjawab.

Makasih banyak ya, Mas Eric, atas semua pengalaman yang sudah Mas Eric berikan. Saya banyak belajar. Mas Eric adalah salah satu dosen yang bikin saya bisa memilih peminatan sosial! :))

Sukses selalu ya mas!
Rieke Astari (mahasiswinya Mas Eric, angkatan 2007)

Terbaik Milik Mas Eric

#tribute-to-mas-eric-24

Banyak orang bilang Mas Eric itu galak.
Banyak orang bilang Mas Eric itu pintar.
Banyak orang bilang Mas Eric itu absurd.

Kalau menurut saya, Mas Eric itu ya Mas Eric.

Buat saya, Mas Eric itu orang yang bisa dengan santai dan senyum-senyum bertanya, “Eh, si R apa kabar?” padahal saya dan R sudah putus berbulan-bulan sebelumnya dan dengan sukses membuat hati saya yang baru mulai sembuh kembali tersobek-sobek.

Buat saya, Mas Eric itu orang yang mengijinkan teman perempuannya yang ketakutan karena pintu kamar digedor pemabuk tengah malam buta, untuk tidur di kamarnya. Kejadian ini ber-setting di sebuah negara yang punya festival bir.

Buat saya, Mas Eric itu bisa menolak memberikan pisang yang menjadi bagian dari nasi kotaknya ke seorang ibu hamil yang tengah ngidam pisang. Mas Eric dengan santai malah memakan pisang itu di depan ibu hamil dan berkata dengan muka pengen ditimpuk, “Enak loh pisangnya.” Sampai hari ini, mantan ibu hamil itu nampaknya masih memendam dendam jika diingatkan mengenai penolakan Mas Eric.

Buat saya, Mas Eric itu bisa membuat siapapun yang berbicara dengannya, merasa jadi orang paling penting di dunia.

Buat saya, Mas Eric boleh minta ke saya untuk dibuatkan (atau dituangkan) minuman atau makanan apapun yang saya bisa, cuma untuk mendengarnya bilang, “Makasih ya, Dinast....” dengan nada suara super manis dan senyum mesam-mesemnya yang gak dia perlihatkan ke semua orang.

Buat saya, rapat tanpa Mas Eric pastinya gak seru karena berkurang satu tukang protes di kantor.

Buat saya, kantor tanpa Mas Eric akan jadi sepi karena saya kehilangan teman yang punya hobi berpakaian sama: kemeja, jeans, dan sneakers.

Buat saya, mantan bilik Mas Eric yang penuh sesak dengan berbagai buku (termasuk yang berbahasa Jerman), membuat saya selalu ingat bahwa saya punya banyak banget buku yang belum saya baca.

Buat saya, upacara pernikahan yang membuat saya berjanji untuk kelak juga menikah secara sederhana adalah pernikahannya Mas Eric dan Atink (tentunya tanpa Putera Altar yang semua sudah bangkotan dan kaku itu ya).

Mas Eric yang saya kenal adalah teman diskusi yang bersedia mendengarkan, teman nongkrong yang selalu membuat saya kangen berat akan kantin Psiko UI, teman beristirahat di dapur yang lucu dan bisa sok imut, dan teman dengan mimpi-mimpi idealis yang masih belum sempat terurai semua.

Saya sungguh berharap semua hal yang terbaik bisa jadi milik Mas Eric (Hey, it rhymes!).

Dinastuti (soon-to-be mantan kolega, supplier fermentasi dan wine, pembuat dan penyedia roti bakar, pembuat teh, a well-wisher.)

The Teaching Teacher

#a-tribute-to-mas-Eric-23

Bertemu di mata kuliah Metode Kualitatif (Metkual), cukup setengah semester, dengan pertemuan yang kurang dari jumlah seharusnya (Mas Eric absen, gw masuk. Gw bolos, Mas Eric masuk)! He has something I’ve been amazed of. He definitely grabbed my attention sejak ‘pertemuan’ pertama. I mean, sejak kesempatan gw bertemu beliau di kelas untuk pertama kali. Waktu itu, dengan super santai beliau masuk kelas, cengar-cengir, naik duduk ke atas meja, dan melihat ke arah semua mahasiswa sambil bertanya, “Fakultas Psikologi itu ada, atau nggak?”

Semua mahasiswa di ruangan kelas itu cekakakan diam-diam. Ada yang tersenyum sambil nunduk, menghormati dosen yang namanya memang tersohor itu. Ada yang senggol-senggolan, langsung memasukkan nama beliau ke daftar dosen-yang-jadi-bahan-gosip. Dan ada juga yang bengong campur tertarik, sadar bahwa dosen macam ini adalah produk langka. Gw sendiri masuk ke golongan yang ketiga.

Pertanyaan itu memang dijawab dengan argumen ini dan itu, yang sebenernya nggak lebih penting dari pertanyaan yang memunculkan jawaban-jawaban itu. Pertanyaan itu mewakili Mas Eric: filosofis, sederhana, mendapat interpretasi dari hal kecil, unik, bisa mengkristalisasi alur berpikir, menjungkirbalikkan pikiran yang terlalu mainstream, dan membawa mahasiswa jadi seorang “psikolog”. “Psikolog” yang kaya kemampuan analisa. “Psikolog” yang bisa bertanya dengan benar. “Psikolog” yang bisa berpikir. “Psikolog” yang utuh. Ya, yang utuh.

Satu hal yang berkesan buat gw adalah ketika Mas Eric ngajar di kelas Metkual, entah pertemuan kedua atau ketiga. Apa yang gw dapatkan di kelas itu tetap gw ingat sampai sekarang, bahkan gw bawa-bawa sebagai dasar berpikir gw untuk mencoba memahami manusia secara empatik. Mas Eric waktu itu lagi bawa sebuah buku, judulnya gw lupa. Buku itu beliau bawa ke kelas, dan di tengah-tengah kuliah, beliau tiba-tiba menyodorkan buku itu ke gw yang kebetulan duduk di bangku depan, sambil bilang, “Coba ceritain isi buku ini ke gw. Sekarang!”

…… Seperti biasa, gw bengong dengan pertanyaan beliau. Alhasil gw cuma cengar-cengir blo’on sambil membolak-balik cover buku itu. Mas Eric nyengir, mengambil buku itu dari gw, dan menjawab, “Nggak bisa, kan? Nggak bisa, kan, lo mencoba menjelaskan buku ini dari satu bagian aja? Emangnya bisa, memahami buku ini hanya dari halaman ke sekian, sekian, sekian, atau dari sinopsis di belakang cover? It is the same if we attempt to understand human being. Kita nggak bisa menjelaskan manusia itu begini, begitu, tapi kita nggak mencoba untuk baca manusia itu secara keseluruhan. Kalo kita nggak baca satu buku, kita nggak lihat whole-nya. Jangan berani-berani bilang kita bisa paham kalau kita belum selesai baca sampai akhir.”

Well, itu adalah satu kepingan yang bisa menuntun kita semua ke satu kesimpulan inferensial: Mas Eric, jelas, adalah dosen yang tipikal. Tipikal diceritakan dalam buku, kisah, dan story yang istimewa. Tipikal tokoh yang memiliki nilai personal untuk semua orang. Tipikal sosok yang unik, dan yang keunikannya akan selalu diingat……………………. dan dimaknai secara pribadi.


Keep the great, great, great, great, great work, Mas!
Nadya Regina Pryana (mahasiswinya Mas Eric, angkatan 2009)