Tentang Blog!

Blog ini dibuat untuk mengumpulkan tulisan dari mahasiswa, rekan kerja, alumni, dosen, atau siapa pun yang mengenal dan punya pengalaman berkesan dengan mas Eric. Kumpulan tulisan ini akan dibukukan, untuk diberikan kepada mas Eric pada 18 Mei 2011, saat pesta perpisahan beliau. Tulisan bisa dikirimkan ke: octovary@gmail.com, paling lambat 15 Mei 2011.


Kumpulan tulisan sudah dibukukan dan diberikan ke mas Eric, sekaligus ke semua penulisnya.. Tanggapan hangat dari mas Eric juga sudah disampaikan ke semua penyumbang tulisan, bisa dilihat dari blog mas Eric di:

Koreografer: Penari yang Menari Bersama Tariannya

#tribute-to-mas-eric-29

Seni adalah suatu hal yang indah namun terkadang absurd. Indah karena dinamika dan harmoni sungguh terpancar di dalamnya. Indah karena proses kreatif manusia melahirkannya Indah karena tercipta dari pengalaman, proses refleksi dan interpretasi penciptanya: manusia.

Di dalam ilmu Psikologi pun, terdapat seni.  Bahkan sebenarnya seni pun tercakup di dalam Psikologi. Sebab seni adalah proses menggabungkan atau menciptakan sesuatu yang mampu menjangkau indrawi kita, bahkan mampu menyentuh jiwa dan memberi ilham lagi, lagi, dan lagi. Baik kepada si pembuatnya maupun manusia lain yang menikmati seni tersebut.

Seni itu indah, kawan. Tapi terkadang kita lupa bahwa seni yang indah itu pun juga ada di kehidupan kita, di dunia Psikologi. Di tengah-tengah semester empat yang padat dan penuh tenggat waktu tugas dari 90% mata kuliah di semester itu, ada satu mata kuliah yang mampu memberi oase. Meski berlangsung di pukul tujuh pagi setiap Selasa, kuliah itu memberi nafas dan ruang gerak bagi saya untuk kembali hidup.

Betapa menyenangkannya mengikuti suatu mata kuliah tanpa harus membawa buku.
Cukup membawa pengalaman, keingintahuan, penasaran, kerendahan hati untuk bertanya, serta keterbukaan untuk dikritik (baca: dibabat) pemikirannya oleh dosen yang bersangkutan. Saya tak pernah menyangka di suatu pagi di hari Selasa pukul tujuh pagi itu, sang dosen memperdengarkan musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono-kesukaan saya-, berjudul “Hujan Bulan Juni”.

Bayangkan, betapa hari itu menjadi oase bagi saya. Terhidupi dan tersegarkan melalui lantunan musikalisasi puisi, mengikuti untaian kata demi kata dalam melodi. Dan setelahnya, sang dosen bertanya kepada para mahasiswa apa makna dari lagu itu? Apa yang dipikirkan subjek dalam lagu itu? Sampai ternganga kesenangan saya.

Di saat mata kuliah lain di semester yang sama begitu mengkotak-kotakkan alur pikir saya, ternyata MASIH ada satu mata kuliah, yang walau hanya dua SKS dan dosennya sering terlambat bahkan tidak masuk, memberi saya sejumlah hal berikut:
Kesempatan dan kebebasan.
Kesempatan untuk bebas berpikir.
Kesempatan untuk bebas bermimpi
Kesempatan untuk bebas memandang hidup dari interpretasi pribadi saya sendiri.
Kesempatan untuk bebas menjadi diri sendiri.

Kesempatan itu membuat saya selalu menunggu-nunggu hari Selasa pagi dengan antusias. Di kesempatan berikutnya sang dosen mengungkit-ungkit tentang tarian dan Salihara. Dua hal yang juga saya sukai dan minati. Tentang tarian ia bertanya, “Pernahkah kamu bisa membedakan antara penari dan tariannya?” Saat ia bertanya seperti ini di kelas, di kepala saya langsung berputar fragmen-fragmen tarian yang pernah saya lihat dan alami. Tidak, pikir saya. Tarian tidak pernah terpisah dari penari. Penari adalah entitas dari tarian itu sendiri.

Penari yang benar-benar menjiwai tariannya adalah penari yang terlihat begitu alami dan mengalir ketika menari. Sampai orang lain yang melihatnya bahkan tak akan menyadari bahwa tarian itu sebenarnya dipelajari, diajarkan, bahkan dilatihkan berulang kali kepada si penari. Namun, apakah latihan saja cukup?  Latihan berulang kali bahkan ratusan kali tanpa pernah bisa MENJIWAI dan MENGHAYATI apa yang ditarikannya tidak akan pernah menjadi suatu tarian yang indah.  Tidak akan pernah.

Begitu pula dengan ilmu Psikologi. Aah... Di titik itu saya mendapatkan pencerahan. Point of no return. Sebab tak ada tempat lain untuk saya berpaling. Sebab ini dunia saya yang secara sadar atau tidak dituntun dan dicerahkannya pada setiap kelas di Selasa pagi. Terima kasih Mas Eric karena pernah dan selalu menginspirasi saya untuk mencintai hidup melalui melakukan hal-hal yang disukai dan memakai Psikologi sebagai sebuah seni.

Ternyata, menggunakan ilmu Psikologi sebagai kaca mata dalam menonton film, melihat pameran lukisan, menonton pertunjukkan tari dan musik, bahkan dalam iklan, pakaian, dan fashion membuat hidup terasa lebih hidup.

“A king doesn’t need a crown to proof that He is a king”
without a crown you are truly a king...

Salam,
Anastasia Satriyo (mahasiswinya Mas Eric, angkatan 2008)

No comments:

Post a Comment