Tentang Blog!

Blog ini dibuat untuk mengumpulkan tulisan dari mahasiswa, rekan kerja, alumni, dosen, atau siapa pun yang mengenal dan punya pengalaman berkesan dengan mas Eric. Kumpulan tulisan ini akan dibukukan, untuk diberikan kepada mas Eric pada 18 Mei 2011, saat pesta perpisahan beliau. Tulisan bisa dikirimkan ke: octovary@gmail.com, paling lambat 15 Mei 2011.


Kumpulan tulisan sudah dibukukan dan diberikan ke mas Eric, sekaligus ke semua penulisnya.. Tanggapan hangat dari mas Eric juga sudah disampaikan ke semua penyumbang tulisan, bisa dilihat dari blog mas Eric di:

Dari Musik Kita Bertemu, Bersama Kopi Kita Saling Mengenal

#tribute-to-mas-eric-27

Pertama kali aku kenal sosok bernama Albertus Magnus Eric Mulyadi Santosa adalah pertengahan 1990an di sebuah konser musik klasik di Gedung Kesenian Jakarta. Pertemuan berlanjut dalam beberapa pagelaran musik lainnya, dan sambil menulis ini, aku baru tersadar:  Lho, kita ketemunya bukan karena profesi tapi karena musik ya, Eric?”

Dari ngobrol ringan sehabis kenalan, akhirnya tahu profesinya sama, maka mulailah  obrolan “naik tingkat”.  Apalagi yang  dibahas dua orang psikolog selain membicarakan manusia lain? Dengan kata lain: rumpi, tetapi pura-pura rumpinya intelek. Ternyata memang ada beberapa persamaan interest yang kita miliki.

Lalu suatu hari  Eric mengundang aku menjadi pembicara tamu di salah satu kuliahnya untuk sharing pengalaman. Aku lupa judul mata kuliahnya, tetapi ada kaitan dengan perubahan sosial. Wow, sharing pengalaman apa ya? Bingung, tetapi ketika itu Reformasi baru saja berlalu, dan beberapa pengalaman terkait peristiwa itu rasanya bisa dibagi kepada mahasiswa.

Meskipun belum menjadi dosen Unika Atma Jaya saat itu, namun hubunganku dengan UAJ cukup erat melalui kegiatan PKPM. Beberapa kali aku mengikuti diskusi, rapat, atau workshop yang juga dihadiri Eric, dan sesudahnya pasti berlanjut menjadi obrolan di warung atau kafe sambil ngopi atau ngebir, membicarakan segala sesuatu dari A sampai Z. Hal-hal sepele tak berguna bisa jadi isu mahapenting untuk dipertanyakan, yang tetap tidak kita temukan jawabannya.  Ngobrolin film, musik, sastra dan bahasa, busana, gaya hidup, politik Presiden Soeharto, pendidikan di SMA (ternyata kita satu almamater!), berbagai fenomena masyarakat, sampai observasi terhadap lingkungan sekeliling warung/kafe saat itu, bisa berubah jadi analisis-analisis psikologi ringan .

Tentu saja obrolan-obrolan itu harus diwarnai perdebatan “Kenapa begini…. kenapa begitu.. …Ah menurut gue sih nggak begitu dong…. Ah, nggak  tahu deh, mungkin juga yah…. Nggak boleh gitu sih sebenarnya… Yah, gue sih ngeliatnya gini…. Eh, bener juga kata lo ya…. Tapi kan….”  Pembicaraan dengan Eric selalu menarik, “panas”, menggelitik, dan setiap aku pulang ke rumah berasa mendapat pencerahan.

Setelah jadi dosen honorer tahun 2001, interaksi bersama Eric menjadi lebih intensif dan ekstensif, meskipun terpotong sejenak ketika Eric ke Jerman.  Kami pernah sama-sama ikut menjadi pendamping Pramabim, sama-sama ikutan Konferensi Internasional Psikologi lintas budaya di Yogyakarta, sama-sama ikut membahas kurikulum 2003, sama-sama ikut kegiatan HIMPSI (sambil ngomel-ngomel bareng tentunya! Hahaha), dan bermacam kegiatan lain, termasuk sama-sama menyusup jadi pendengar di kuliah masing-masing.  Tetap saja semua itu akan dilanjutkan dengan obrolan di warung kopi. Hmm, sudah berapa cangkir kopi kita habiskan bersama ya, Eric?

Yang juga aku ingat adalah ketika pulang dari Timor Leste aku membawa oleh-oleh wine. Tanpa berpikir panjang, Eric mengajak saya ke ruang kerjanya di Rektorat dan langsung membuka botol tersebut. Tak perlu menunggu minum di rumah, katanya. Maka ngobrollah kita ngalor ngidul dari makan siang sampai malam hari di kantornya. Hmm, jadi bukan cuma kopi yang menemani kita ya? (Maaf, maaf, saya membuka rahasia, Eric J)

Anyway, kesibukan masing-masing dalam dua tahun terakhir ini barangkali membuat terkesan ada jarak antara Erik dan aku. Sesekali bertemu di ruang sidang skripsi, dan aku pun mendapat pencerahan tentang topik favorit barunya archetype, tetapi di luar itu sudah jarang ngobrol.  Terakhir ngobrol intensif yang aku ingat adalah awal 2010 di Plaza Semanggi dengan seorang teman yang bekerja di Afghanistan. Ah, serunya melihat teman dari Afghanistan ini sedang tergila-gila dengan buku Outliers, ngobrol berapi-api, lalu Sang Dosen Psikologi Sosial ini dengan sangat skeptis dan “sinis” menanggapi buku tersebut dengan negatif.  Barangkali itu pula salah satu ciri khas seorang Eric Santoso: selalu skeptis terhadap suatu fenomena, skeptis yang kadangkala disalahartikan sebagai sinisme.

Eric memang sosok kontroversial. Setahu aku di mata sebagian mahasiswa dia tokoh berwawasan luas dan senang berdiskusi, sementara di mata sebagian mahasiswa lain dia itu “manusia sulit” yang tidak mudah dibuat senang.  Bagi sebagian mahasiswa Mas Eric tampak sebagai sosok menakutkan (Ah, jangan sampai nanti sidang skripsi diuji Mas Eric), sedangkan sebagian lagi justru melihatnya sebagai tokoh yang mencerahkan (“Oh, ternyata pertanyaan Mas Eric waktu gue sidang skripsi itu daleeem banget lho. Ah, senengnya bisa diuji beliau”).

Masih bisa aku buat daftar lebih panjang lagi sebenarnya, tetapi sosok kontroversial inilah yang antara lain membuat aku cukup bertahan di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, karena selain jadi teman diskusi dia sekaligus adalah teman curhat. Dan kalau boleh jujur aku katakan: aku merindukan saat bisa duduk ngopi-ngopi bareng bersama dirimu, Eric.

No comments:

Post a Comment